Aku menjadi orang yang begitu beruntung, dipertemukan bersama perempuan-perempuan luar biasa seperti kalian. Kita telah lama bermimpi, kita sama-sama menyukai tulisan, bahkan selalu jatuh cinta dengan sastra hingga tergila-gila dengan buku-buku. Ada banyak cerita bersama kalian, kutitipkan do'a robitho- semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita.Masih Ingat bukan bagaimana kita berjuang di ruang Lab Komputer? dan cerita malam-malam panjang kita yang tak pernah habis. -Mawarda-
2 : 216
Oleh : Shafaa
Udara
begerak cepat, menimbulkan angin bak gelombang air pasang. Bergulung.. dan
menghantam keras. Dedaunan bergemerisik riuh. Sampah jalanan beterbangan bagai
anai- anai. Langit kelam memayung. Cahaya mentari tertutup awan hitam yang
berarak. Pertanda alam, badai kan datang. Perlahan, titik- titik air yang telah
mencapai kulminasinya mulai mencair. Dan sedetik kemudian, berubah menjadi air
bah yang tumpah dari langit.
Laju
kaki kupercepat ketika tempat untuk berteduh tampak semakin dekat. Satu..
dua… tiga..Alhamdulillah… Naungan atap teras ini sedikit memberiku
kehangatan. Pintunya tertutup rapat. Pemilik rumah mungkin sedang kungkung
dibawah selimut. Tiba- tiba aku merasa sangat butuh segelas teh hangat.
Aku
memeluk tubuhku, melindunginya dari serangan dingin yang menusuk. Kupandangi
jalan yang terlihat lengang, karena tak satupun kendaraan yang terlihat
berlalu- lalang. Para penghuni bumi seakan menghilang, meninggalkanku seorang
dalam kedinginan dan kehampaan.
Baru
aku merasa menyesal menolak tumpangan yang tadi ditawarkan kak Abdur Rahman.
Yah… meski istrinya adalah sahabat karibku,
tapi untuk berdua di mobil dengan suami orang, aku tetap merasa tidak nyaman.
Siapapun dia, sedekat apapun hubungan
aku dengannya, jika ia bukan mahramku, berdua dengannya aku selalu merasa
janggal.
Tnit.. tnit…. Suara Ring Tone
HPku memecah kesunyian. Kuaduk- aduk isi
ranselku, mencari sumber suara. Aghr… ku lihat buku- bukuku nyaris
luntur terkena rembesan air. Untuk yang
kedua kalinya, aku merasa menyesal tidak menyimpan peralatan kuliah sebelum
pergi ke acara Aqiqah anak sahabatku tadi.
Nokiaku yang terus melengking akhirnya kutemukan.
“halo….”
Sapaku. Tak ada suara dari seberang.
“halo..
halo…”
Ouch.….
Ternyata HPku kehabisan baterai. Keadaan ini menambah kegalauan di hatiku. Ku
lirik jam tanganku, Ya Allah… sudah masuk waktu maghrib. Tanpa berfikir
panjang, aku pun melangkah menembus lebatnya hujan.
_Amar
Zaky_
“besok
ada waktu? Pengen ngomongin sesuatu. Sms ya… Q tunggu ditempat biasa.. “
Sms
dari Syifa, sahabatku di kampus. Kami satu angkatan,tapi beda fakultas. Aku
ambil Ilmu Budaya, dia memilih Sosial Politik. Aku memang lebih tetarik pada
Sastra Belanda, sedang dia ingin mengejar cita- citanya menjadi Duta. Kami
bertemu saat kegiatan pengkaderan mahasiswa baru. Setelah banyak berbagi
cerita, kami lalu saling bertukar nomor telepon. Setelah itu, hubungan kamipun
semakin erat. Dan akhirnya, setiap cerita kami bagi bersama.
“insya
Allah….” Ku ketik jawabanku.
Begitu
sampai di rumah aku memang langsung mencharge HPku. Aku penasaran dengan
penelpon tadi. Jadilah HPku di cas dalam keadaan aktif. Padahal hal tersebut
bisa merusak baterai HP. Bad habbitku yang satu ini memang tak pernah
bisa ku tinggalkan.
Aku
menyeruput teh hangatku. Hm… nikmat… panas tubuhku terasa mulai kembali setelah
beberapa jam hilang dilumat dingin. Aku lalu merebahkan tubuh di kasur. Ah…
nyaman…
Tiba-
tiba aku teringat Zahrah. Sahabatku yang baru saja mengadakan Aqiqah putra
keduanya. Mengigat dirinya aku jadi tersadar bahwa jalan hidup memang takkan
mampu kita tebak. Itu adalah rahasia Tuhan yang dikemudian hari selalu menjadi
suatu kejutan.
Aku
dan Zahrah sahabat sejak masih kanak- kanak. Kami tumbuh dan besar dalam lingkungan
yang sama. Semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA kami
tempuh bersama. Entah sudah berapa cerita dalam sejarah kehidupan yang telah
kami tulis berdua. Baik itu susah, senang, bahagia ataupun duka. Bersamanya,
berjuta mimpi telah aku lukiskan. Namun semua itu kini tinggal kenangan, karena
di tahun kedua kami di bangku SMA, seseorang mengajukan lamaran padanya. Akupun
akhirnya ditinggal dengan sejuta angan yang belum kesampaian. Pesan terakhirnya
untukku “ teruskan mimpi itu. Kini, semua itu milikmu. Kejarlah ia dengan
segala kemampuanmu..” karena setelah
itu, ia tak pernah lagi hadir di kelas. Aku sedih…. Sakit… tapi tak dapat ku
dustai hatiku, ada bahagia yang membuncah menyaksikannya tersenyum di atas
pelaminan. Saat itu aku tersadar, bahwa kenyataan ini adalah mimpi yang tak
pernah kami tanamkan. Maka sejak saat itu, buku mimpi yang aku buat dengan
Zahrah, aku tutup dan kusimpan di tempat yang tak mungkin lagi bagiku untuk
kembali meliriknya. Lalu bersama Nadia, aku buka buku mimpi yang baru.
Namun
belum cukup sejuta yang kami tulis, belum banyak yang kami lukis, mimpi itu
harus terhenti. Di tahun selanjutnya, Nadia juga meninggalkanku bersama mimpi
yang menggantung. Pergi bersama teman barunya. Pendamping hidupnya…
Aku
baru menyadari bahwa aku seorang pemimpi kelas berat. Ketika kembali ku tulis
sebuah buku mimpi yang baru setelah ku menjalin sebuah persahabatan baru dengan
Syifa. Syifa punya mimpi, aku punya mimpi. Jadilah kami menggabungkan impian-
impian kami bersama. Dan untuk saat ini, mimpi terakhir yang kami tuliskan
adalah “Menjadi Duta Besar Indonesia di Belanda”. Bermodal keyakinan dan
kesungguhan, kami maju selangkah demi selangkah meraihnya. Meski berulang kali
aku telah tersandung dan terjatuh, tapi aku tak ingin berhenti. Kalimat
motifasi dari Zahrah masih terus terngiang di telingaku, “hidup ini masih
terus berjalan selama hati dan akal terus berjalan”.
Gema
azan isya melemparku kembali ke alam sadarku. Akupun bangkit tuk menghadap
Tuhanku. Ku ingin memohon agar mimpiku menjadi takdirku.
_Amar
Zaky_
jam
10 pagi, waktu untuk beristirahat. Kampus biruku terlihat ramai. Kantin dan
koridor nampak sesak. Mahasiswa dan mahasiswi berbaur. Tidak lagi mengenal
perbedaan. Tidak tahu akan batasan. Agama, ras, budaya ditanggalkan. Untuk satu
kata, TEMAN. Kudengar seseorang memanggil namaku dari arah kantin. Aku menoleh
sekilas, dan aku segera berlalu pergi setelah sejenak melambaikan tangan. Aku
sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Menyandang gelar mahasiswi teladan
untuk tingkatanku memang membuat teman- teman sering memperlakukanku bak
selebriti.
“Assalamu’alaikum….”
Sapaku pada Syifa begitu aku tiba ditempat kami sering janjian untuk bertatap
muka.
“wa’alaikum
salam…” balasnya. Lengkap dengan senyuman khasnya, manis dan menggemaskan.
“aku
shalat dulu ya…” ujarku
“silahkan.
Aku sudah..” jawabnya.
Akupun
melaksanakan ritual shalat dhuha-ku. Ada kesegaran yang menyusup. Ada
kenikmatan yang menjalar pada urat nadiku. Menyatu bersama aliran darahku.
Kekhusyuan inilah yang megistirahatkanku dari penatnya dunia.
“ada
mimpi baru yang ingin dituliskan?”. Setelah 2 rakaat kudirikan ditambah dzikir
dan selaksa do’a kupanjatkan, akupun membuka percakapan.
Syifa
tidak menjawab. Ia hanya menatapku dalam diam. Tapi… ada yang aneh dari
tatapannya. Tatapan itu kosong. Aku jadi kesulitan menafsirkannya.
“ukhti….
Syifa…..” aku menyentuh jemarinya pelan. Ia lalu mendesah panjang.
“gak.
Gak ada mimpi baru.. afwan ya, mimpi yang sekarang belum sempat terwujudkan”
pernyataannya semakin membuatku kebingungan.
“katanya
mau ngomongin sesuatu. Soal hambatan? Atau ada topic lain? Cerita aja…”
desakku. Aku melirik jam. 10 menit lagi dosen Morfologiku akan memulai
kelasnya. Setelah kembali terdiam cukup lama, ia akhirnya berucap,
“aku
rindu aja pengen ketemu kamu….” Kembali dua lesungnya dia pamerkan. Aku
membalas tatapannya. Aku tahu ada sesuatu yang membebaninya. Sikapnya sangat
jelas menunjukkannya. Tapi aku juga tidak ingin memaksanya. Maka kubiarkan
sampai ia benar- benar siap tuk bercerita. Lima menit kemudian kami
meninggalkan mushallah
_Amar
Zaky_
Aku
baru memperoleh jawaban atas kebingunganku dengan sikap Syifa pada pagi berikutnya.
Melalui pesan yang dia kirimkan ke e-mail ku
Assalamu’alaikum,
ukhti…
Ana
mohon maaf yang sebesar- besarnya.. mungkin sikap ana kemarin membuat ukhti
jadi bingung. Ana memang pengen
ngomongin sesuatu. Tapi ana gak tau gimana ngejelasinnya. yang pasti, ini belum pernah kita tuliskan di
buku mimpi kita. Rasanya berat untuk ana ungkapkan lewat lisan. Maka dari itu,
lewat tulisan ini ana mencoba tuk menjelaskan..
Ukhty,
seminggu yang lalu, seorang ikhwah mengkhitbah ana. Dia 2 tingkat di atas
kita. Tapi beda universitas. Meski begitu, kehidupannya cukup mapan. Disamping
itu, dia juga bekerja di toko buku milik temannya Ayah. Ayah jadi tahu betul
tentang dia. Ternyata mereka memang sering berkomunikasi. Jadilah Ayah menerima
lamarannya dengan senang hati. Ana pribadi, juga sudah terkesan dengan si dia.
Dari hasil pembicaraan kemarin, diputuskan walimah akan diadakan dua bulan
kemudian, insya Allah..
Afwan
ukh, hal ini baru bisa ana cerita sekarang. Sekali lagi ana mohon maaf, karena
mungkin buku mimpi kita gak bisa lagi ana lanjutkan. Meski cita- cita ana tuk
jadi duta belum ana kubur. Ana merasa masih punya harapan. Semoga Allah
mewujudkan mimpi kita dengan caraNya yang tentu jauh lebih indah..
Keep
spirit…. U always be the best…
Wassalamu’alaikum
wr wb
Tanpa
terasa, air mataku mengalir saat membaca pesan dari Syifa. Ternyata, dengan
cara yang sama ia meninggalkan buku mimpi itu untukku. Nikah…. Aku memang tak
pernah menuliskannya. Karena aku merasa tak perlu mengejarnya.
Haah…..
Aku mendesah panjang. Walau harus gagal
untuk yang ketiga kalinya, aku tetap pada komitmenku. Maju terus, pantang
mundur. Meski kini buku mimpi itu harus kujaga seorang diri.
Tiba-
tiba HPku berdering. Sebuah pesan masuk.
“gimana?
Dia nagih jawaban nih…..”
Sekali
lagi aku menghela nafas panjang. Mungkin memang saatnya ku buka buku yang baru.
Lorong
Sejahtera,
07
Januari 2011, 13:26 pm
_Amar
Zaky_
0 komentar:
Posting Komentar