2 : 216

Minggu, 21 Juni 2015



Aku menjadi orang yang begitu beruntung, dipertemukan bersama perempuan-perempuan luar biasa seperti kalian. Kita telah lama bermimpi, kita sama-sama menyukai tulisan, bahkan selalu jatuh cinta dengan sastra hingga tergila-gila dengan buku-buku. Ada banyak cerita bersama kalian, kutitipkan do'a robitho- semoga Allah selalu menyatukan hati-hati kita.
Masih Ingat bukan bagaimana kita berjuang di ruang Lab Komputer? dan cerita malam-malam panjang kita yang tak pernah habis. -Mawarda-
  


2 : 216
Oleh : Shafaa


Udara begerak cepat, menimbulkan angin bak gelombang air pasang. Bergulung.. dan menghantam keras. Dedaunan bergemerisik riuh. Sampah jalanan beterbangan bagai anai- anai. Langit kelam memayung. Cahaya mentari tertutup awan hitam yang berarak. Pertanda alam, badai kan datang. Perlahan, titik- titik air yang telah mencapai kulminasinya mulai mencair. Dan sedetik kemudian, berubah menjadi air bah yang tumpah dari langit.
Laju kaki kupercepat ketika tempat untuk berteduh tampak semakin dekat. Satu.. dua… tiga..Alhamdulillah… Naungan atap teras ini sedikit memberiku kehangatan. Pintunya tertutup rapat. Pemilik rumah mungkin sedang kungkung dibawah selimut. Tiba- tiba aku merasa sangat butuh segelas teh hangat. 
Aku memeluk tubuhku, melindunginya dari serangan dingin yang menusuk. Kupandangi jalan yang terlihat lengang, karena tak satupun kendaraan yang terlihat berlalu- lalang. Para penghuni bumi seakan menghilang, meninggalkanku seorang dalam kedinginan dan kehampaan.
Baru aku merasa menyesal menolak tumpangan yang tadi ditawarkan kak Abdur Rahman. Yah… meski istrinya adalah sahabat karibku, tapi untuk berdua di mobil dengan suami orang, aku tetap merasa tidak nyaman. Siapapun dia, sedekat  apapun hubungan aku dengannya, jika ia bukan mahramku, berdua dengannya aku selalu merasa janggal.
     Tnit.. tnit…. Suara Ring Tone HPku memecah kesunyian. Kuaduk- aduk isi  ranselku, mencari sumber suara. Aghr… ku lihat buku- bukuku nyaris luntur terkena rembesan air.  Untuk yang kedua kalinya, aku merasa menyesal tidak menyimpan peralatan kuliah sebelum pergi ke acara Aqiqah anak sahabatku tadi.  Nokiaku yang terus melengking akhirnya kutemukan.
“halo….” Sapaku. Tak ada suara dari seberang.
“halo.. halo…”
Ouch.…. Ternyata HPku kehabisan baterai. Keadaan ini menambah kegalauan di hatiku. Ku lirik jam tanganku, Ya Allah… sudah masuk waktu maghrib. Tanpa berfikir panjang, aku pun melangkah menembus lebatnya hujan.

_Amar Zaky_

“besok ada waktu? Pengen ngomongin sesuatu. Sms ya… Q tunggu ditempat biasa.. “
Sms dari Syifa, sahabatku di kampus. Kami satu angkatan,tapi beda fakultas. Aku ambil Ilmu Budaya, dia memilih Sosial Politik. Aku memang lebih tetarik pada Sastra Belanda, sedang dia ingin mengejar cita- citanya menjadi Duta. Kami bertemu saat kegiatan pengkaderan mahasiswa baru. Setelah banyak berbagi cerita, kami lalu saling bertukar nomor telepon. Setelah itu, hubungan kamipun semakin erat. Dan akhirnya, setiap cerita kami bagi bersama.
“insya Allah….”  Ku ketik jawabanku.
Begitu sampai di rumah aku memang langsung mencharge HPku. Aku penasaran dengan penelpon tadi. Jadilah HPku di cas dalam keadaan aktif. Padahal hal tersebut bisa merusak baterai HP. Bad habbitku yang satu ini memang tak pernah bisa ku tinggalkan.
Aku menyeruput teh hangatku. Hm… nikmat… panas tubuhku terasa mulai kembali setelah beberapa jam hilang dilumat dingin. Aku lalu merebahkan tubuh di kasur. Ah… nyaman…
Tiba- tiba aku teringat Zahrah. Sahabatku yang baru saja mengadakan Aqiqah putra keduanya. Mengigat dirinya aku jadi tersadar bahwa jalan hidup memang takkan mampu kita tebak. Itu adalah rahasia Tuhan yang dikemudian hari selalu menjadi suatu kejutan.
Aku dan Zahrah sahabat sejak masih kanak- kanak. Kami tumbuh dan besar dalam lingkungan yang sama. Semua jenjang pendidikan, mulai dari TK, SD, SMP, dan SMA kami tempuh bersama. Entah sudah berapa cerita dalam sejarah kehidupan yang telah kami tulis berdua. Baik itu susah, senang, bahagia ataupun duka. Bersamanya, berjuta mimpi telah aku lukiskan. Namun semua itu kini tinggal kenangan, karena di tahun kedua kami di bangku SMA, seseorang mengajukan lamaran padanya. Akupun akhirnya ditinggal dengan sejuta angan yang belum kesampaian. Pesan terakhirnya untukku “ teruskan mimpi itu. Kini, semua itu milikmu. Kejarlah ia dengan segala kemampuanmu..”  karena setelah itu, ia tak pernah lagi hadir di kelas. Aku sedih…. Sakit… tapi tak dapat ku dustai hatiku, ada bahagia yang membuncah menyaksikannya tersenyum di atas pelaminan. Saat itu aku tersadar, bahwa kenyataan ini adalah mimpi yang tak pernah kami tanamkan. Maka sejak saat itu, buku mimpi yang aku buat dengan Zahrah, aku tutup dan kusimpan di tempat yang tak mungkin lagi bagiku untuk kembali meliriknya. Lalu bersama Nadia, aku buka buku mimpi yang baru.
Namun belum cukup sejuta yang kami tulis, belum banyak yang kami lukis, mimpi itu harus terhenti. Di tahun selanjutnya, Nadia juga meninggalkanku bersama mimpi yang menggantung. Pergi bersama teman barunya. Pendamping hidupnya…
Aku baru menyadari bahwa aku seorang pemimpi kelas berat. Ketika kembali ku tulis sebuah buku mimpi yang baru setelah ku menjalin sebuah persahabatan baru dengan Syifa. Syifa punya mimpi, aku punya mimpi. Jadilah kami menggabungkan impian- impian kami bersama. Dan untuk saat ini, mimpi terakhir yang kami tuliskan adalah “Menjadi Duta Besar Indonesia di Belanda”. Bermodal keyakinan dan kesungguhan, kami maju selangkah demi selangkah meraihnya. Meski berulang kali aku telah tersandung dan terjatuh, tapi aku tak ingin berhenti. Kalimat motifasi dari Zahrah masih terus terngiang di telingaku, “hidup ini masih terus berjalan selama hati dan akal terus berjalan”.
Gema azan isya melemparku kembali ke alam sadarku. Akupun bangkit tuk menghadap Tuhanku. Ku ingin memohon agar mimpiku menjadi takdirku.

_Amar Zaky_
jam 10 pagi, waktu untuk beristirahat. Kampus biruku terlihat ramai. Kantin dan koridor nampak sesak. Mahasiswa dan mahasiswi berbaur. Tidak lagi mengenal perbedaan. Tidak tahu akan batasan. Agama, ras, budaya ditanggalkan. Untuk satu kata, TEMAN. Kudengar seseorang memanggil namaku dari arah kantin. Aku menoleh sekilas, dan aku segera berlalu pergi setelah sejenak melambaikan tangan. Aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini. Menyandang gelar mahasiswi teladan untuk tingkatanku memang membuat teman- teman sering memperlakukanku bak selebriti.
“Assalamu’alaikum….” Sapaku pada Syifa begitu aku tiba ditempat kami sering janjian untuk bertatap muka.
“wa’alaikum salam…” balasnya. Lengkap dengan senyuman khasnya, manis dan menggemaskan.
“aku shalat dulu ya…” ujarku
“silahkan. Aku sudah..” jawabnya.
Akupun melaksanakan ritual shalat dhuha-ku. Ada kesegaran yang menyusup. Ada kenikmatan yang menjalar pada urat nadiku. Menyatu bersama aliran darahku. Kekhusyuan inilah yang megistirahatkanku dari penatnya dunia.
    “ada mimpi baru yang ingin dituliskan?”. Setelah 2 rakaat kudirikan ditambah dzikir dan selaksa do’a kupanjatkan, akupun membuka percakapan.
Syifa tidak menjawab. Ia hanya menatapku dalam diam. Tapi… ada yang aneh dari tatapannya. Tatapan itu kosong. Aku jadi kesulitan menafsirkannya.
“ukhti…. Syifa…..” aku menyentuh jemarinya pelan. Ia lalu mendesah panjang.
“gak. Gak ada mimpi baru.. afwan ya, mimpi yang sekarang belum sempat terwujudkan” pernyataannya semakin membuatku kebingungan.
“katanya mau ngomongin sesuatu. Soal hambatan? Atau ada topic lain? Cerita aja…” desakku. Aku melirik jam. 10 menit lagi dosen Morfologiku akan memulai kelasnya. Setelah kembali terdiam cukup lama, ia akhirnya berucap,
“aku rindu aja pengen ketemu kamu….” Kembali dua lesungnya dia pamerkan. Aku membalas tatapannya. Aku tahu ada sesuatu yang membebaninya. Sikapnya sangat jelas menunjukkannya. Tapi aku juga tidak ingin memaksanya. Maka kubiarkan sampai ia benar- benar siap tuk bercerita. Lima menit kemudian kami meninggalkan mushallah
_Amar Zaky_
Aku baru memperoleh jawaban atas kebingunganku dengan sikap Syifa pada pagi berikutnya. Melalui pesan yang dia kirimkan ke e-mail ku
Assalamu’alaikum, ukhti…
Ana mohon maaf yang sebesar- besarnya.. mungkin sikap ana kemarin membuat ukhti jadi bingung. Ana memang  pengen ngomongin sesuatu. Tapi ana gak tau gimana ngejelasinnya.  yang pasti, ini belum pernah kita tuliskan di buku mimpi kita. Rasanya berat untuk ana ungkapkan lewat lisan. Maka dari itu, lewat tulisan ini ana mencoba tuk menjelaskan..
Ukhty, seminggu yang lalu, seorang ikhwah mengkhitbah ana. Dia 2 tingkat di atas kita. Tapi beda universitas. Meski begitu, kehidupannya cukup mapan. Disamping itu, dia juga bekerja di toko buku milik temannya Ayah. Ayah jadi tahu betul tentang dia. Ternyata mereka memang sering berkomunikasi. Jadilah Ayah menerima lamarannya dengan senang hati. Ana pribadi, juga sudah terkesan dengan si dia. Dari hasil pembicaraan kemarin, diputuskan walimah akan diadakan dua bulan kemudian, insya Allah..
Afwan ukh, hal ini baru bisa ana cerita sekarang. Sekali lagi ana mohon maaf, karena mungkin buku mimpi kita gak bisa lagi ana lanjutkan. Meski cita- cita ana tuk jadi duta belum ana kubur. Ana merasa masih punya harapan. Semoga Allah mewujudkan mimpi kita dengan caraNya yang tentu jauh lebih indah..
Keep spirit…. U always be the best…
Wassalamu’alaikum wr wb
Tanpa terasa, air mataku mengalir saat membaca pesan dari Syifa. Ternyata, dengan cara yang sama ia meninggalkan buku mimpi itu untukku. Nikah…. Aku memang tak pernah menuliskannya. Karena aku merasa tak perlu mengejarnya.
Haah….. Aku mendesah panjang. Walau  harus gagal untuk yang ketiga kalinya, aku tetap pada komitmenku. Maju terus, pantang mundur. Meski kini buku mimpi itu harus kujaga seorang diri.
Tiba- tiba HPku berdering. Sebuah pesan masuk.
“gimana? Dia nagih jawaban nih…..”
Sekali lagi aku menghela nafas panjang. Mungkin memang saatnya ku buka buku yang baru.
Lorong Sejahtera,
07 Januari 2011, 13:26 pm
_Amar Zaky_

0 komentar:

Posting Komentar

 
Mawarda © 2011 | Designed by Interline Cruises, in collaboration with Interline Discounts, Travel Tips and Movie Tickets